Selasa, 08 September 2015

Bolak-Balik Mencari Curug Dago

"Ojek a"

Godaan dari pria-pria berjaket kulit yang duduk di atas motor itu berulangkali terdengar di telinga saya. Pasalnya gara-gara saya yang sedang kebingungan mencari jalan setapak menuju Curug Dago, setelah turun dari angkutan umum (angkot).
Info yang saya print dari hasil browsing di mbah google, tertulis "kalau dari Terminal Dago, masuk ke jalan setapak yang berukuran satu meter di seberangnya". Ada dua jalan, lebih tepatnya gang, yang spesifik (setidaknya mendekati) dengan info itu. Tapi karena agak ragu, saya memutuskan untuk jalan sedikit ke arah selatan, menyusuri Jl. Ir. H. Juanda. Langkah kaki saya terhenti, saat sampai di sebuah jalan masuk, karena saya langsung yakin 100% kalau itu bukan jalannya. Berdasarkan info yang saya print, jalan masuknya itu cuma bisa menggunakan kendaraan roda dua atau dengan berjalan kaki, sementara jalan di depan saya banyak mobil yang lalu lalang. Jelas BUKAN berarti!

Akhirnya saya balik lagi ke arah pintu terminal, menuju belokan sekaligus turunan yang mau ke arah Lembang, sambil tetap mengabaikan godaan para pria berjaket kulit yang semakin menjadi-jadi. Setelah berjalan kira-kira 700 meter, saya kembali ragu dengan jalan ini.
Berhenti sejenak. Berpikir.
Opsi-nya cuma dua: turun terus dengan resiko naiknya ngos-ngosan dan betis mengencang, atau kembali ke titik awal depan Terminal Dago dengan resiko ketemu lagi dengan pria-pria penggoda itu. Ah, seandainya ada Dora di saat seperti ini, pasti petanya bisa membantu.
Saya lalu memutuskan untuk memilih opsi yang kedua. Kembali ke titik awal.

Mungkin sampai paragraf ini, yang baca pasti pada bingung kenapa saya tidak bertanya saja.
Sebenarnya saya sudah sempat bertanya ke sopir angkot saat turun, tapi alih-alih menunjukkan jalannya dia malah menyuruh saya naik ojek, bahkan dipanggilkan pula sama dia. Kebaikan yang patut ditolak saudara-saudara!
Sebagai pejalan yang menyandang predikat cheap bastard, saya tahu betul kalau ojek menuju tempat wisata itu ongkosnya pasti mahal, sedekat apapun jaraknya. Apalagi walaupun penampilan bak gembel ibukota, wajah Bradley Cooper saya ini tidak bisa membohongi kalau saya turis, bukan Kabayan yang sedang mencari Siti Romlah. Jadi lebih baik jalan kaki, walau kebingungan. Tuhan memberikan sepasang kaki buat manusia, ya untuk dipakai jalan kan. Bisa menguatkan tulang malah, kalau jalan kaki ribuan langkah sehari. *sudah, diaminkan saja*

Nah, setelah balik dari turunan, saya memutuskan untuk coba masuk ke dua gang kecil tadi. Sayang yang ini malah lebih parah. Gang pertama cuma 100 meter saja sudah buntu. Gang kedua pun sama. Sudah jalan jauh kira-kira 700 meter, ujung-ujungnya buntu juga.
Balik lagi ke depan terminal, ketemu lagi dengan pria-pria penggoda berjaket kulit yang masih terus menawarkan jasanya.
Saya pun lalu memutuskan kembali ke belokan sekaligus turunan ke arah Lembang tadi. Tapi baru beberapa langkah ke bawah, saya akhirnya sadar kalau saya punya sebuah produk kemajuan teknologi bernama smartphone, berbasis android, keluaran Samsung, yang ada aplikasi google maps didalamnya, yang kebetulan aktif juga paket internetnya.
Setelah percobaan pertama dengan mengetik kata Curug Dago gagal, karena yang ditunjuk malah daerah Tebing Keraton, saya lalu coba mencari dengan kata petunjuk Taman Budaya Ganesha (sesuai info yang saya print). Dan setelah keluar hasilnya, ternyata jalan menuju Taman Budaya itu adalah jalan pertama yang saya yakin 100% bukan tadi. Namanya Jl. Bukit Dago Utara.

Setelah masuk kesitu, terus lewat Jl. Bukit Dago Utara III (sesuai petunjuk maps), masuk kira-kira 800 meter, sampailah saya ke titik yang ditunjuk google maps tadi, yaitu tempat parkir Balai Pengelolaan Taman Budaya, yang tidak ada satupun kendaraan yang parkir, dan tidak ada juga tukang parkirnya. Mau tanya ke siapa. Bahkan rumput yang bergoyang pun tidak ada, karena tempat parkirnya diaspal.
Akhirnya saya coba lewat jalan yang menurun, dengan asumsi kalau curug itu biasanya selalu ada di lembah.

Tidak lama berjalan, ketemu seorang ibu separuh baya yang sepertinya mau mengantarkan makanan untuk suaminya di kebun, yang lalu menunjukan ke saya arah menuju jalan yang benar. Disuruh bertobat.
"Kalau mau ka curug dago teh si ujang mesti lewat jalan itu, lurus terus, nanti ketemu pohon jati gede, di situ ada tangga-tanggaan, nah baru si ujang turun lewat situ".
Begitu kata si Ibu tadi, tanpa menjelaskan siapa sosok si ujang* yang dia maksud.

Singkat cerita, jalanlah saya mengikuti arahan ibu itu. Tapi sudah sepuluh menit kok tidak ketemu-ketemu pohon jati gede-nya. Banyak memang pohon-pohon besar, tapi saya yakin itu bukan jati.
Dan tiba-tiba sampailah saya di depan sebuah papan nama jalan, bertuliskan Jl. Bukit Dago Utara. Tempat saya masuk tadi. Ternyata jalannya berbentuk huruf U, jadi saya hanya berjalan memutari saja tempat ini dari tadi.

Walau sudah agak hilang semangat, tapi karena masih penasaran, apalagi sudah kepalang tanggung dan kepalang pegal, jadi balik lagi saya ke dalam. Coba masuk ke Jl. Bukit Dago Utara II, tapi nihil. Ketemu rumah-rumah warga saja.
Sempat bertanya dulu ke seorang perjaka terakhir yang ada di kampus Pasca Sarjana Fisip Universitas Padjajaran, tapi tidak tahu juga. Sepertinya, menunjukkan arah jalan menuju Curug Dago bukanlah spesialisasinya dia. Dari penampilannya, mungkin dia hanya tahu tentang harga lipstik dan maskara saja.

Saya lalu coba masuk ke Jl. Bukit Dago Utara I, dan memutuskan akan langsung pulang kalau kali ini tidak ketemu juga. Dan buah kesabaran itu ternyata selalu manis, seperti kolak pisang. Yang disuap Chelsea Islan.
Tidak lama berjalan, akhirnya saya menemukan sebuah tangga menurun dari beton yang cukup curam, menuju ke arah lembah. Walau tidak menemukan pohon jati besar seperti kata ibu-ibu tadi, hati tetap terasa lega, dan timbul percikan energi untuk buang air kecil. Pencarian ini membuat saya kebelet saudara-saudara.

Tangga-tanggaan
Sayup-sayup mulai terdengar suara aliran air, setelah 1 KM (mungkin kurang) menuruni tangga.

Berada di tengah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, air terjun yang tidak seberapa tinggi ini tersembunyi di balik rindangnya pepohonan. Terbentuk dari aliran Sungai Cikapundung, yang mengalir dari Maribaya menuju Kota Bandung.

Masih ada secuil keindahan masa lalu yang tersisa dari curug mungil ini. Keindahan yang dulu memikat hati duo raja Thailand beda generasi dari Dinasti Chakri; Raja Rama V (Chulalonkorn) dan Raja Rama VII (Pradjathipok Pharaminthara). Jejak sejarah keduanya terpatri dalam dua buah prasasti batu tulis yang berada di dalam dua bangunan bercorak Thailand di dekat curug berada.
Sejarah yang mungkin mempengaruhi pandangan si petugas di pintu masuk, yang mengira saya berasal dari Thailand. Padahal kontur wajah saya lebih mirip India atau Arab atau China, kalau dilihat lewat sedotan dari puncak Monas. Atau jangan-jangan dikira orang Thailand karena perawakan saya mirip ladyboy gagal operasi. *ih cucok*




Sayang, kemolekan curug ini sudah termakan zaman. Terenggut ke-masif-an pembangunan. Pemukiman yang makin padat diatasnya, juga banyaknya pabrik-pabrik pengolahan, menyebabkan hutan yang dahulunya berfungsi sebagai pelindung ekosistim alam semakin lama semakin tergerus.
Hutan tergerus, Sungai Cikapundung terkena dampaknya, Curug Dago ikut kena imbasnya. Debit air sungainya makin berkurang. Airnya pun makin keruh, berwarna kecoklatan, dan banyak sampah yang mengotori aliran sungai. Belum lagi pengelolaan objek wisata ini yang sepertinya begitu-begitu saja. Kedua bangunan tempat prasasti berada, terlihat penuh debu dan tak terawat. Mungkin kalau kedua prasasti itu bisa ngomong, pasti tidak akan bohong, kalau sakitnya tuh di sini.


Kang Goofy pengen eksis
Dengan pengelolaan yang biasa-biasa saja itu, biaya karcis masuk yang dikenakan sebesar 11.000 rupiah terasa sangat amat mahal sekali. Gak worth it kalau kata anak gaul Jakarta. Padahal lumayan penuh perjuangan untuk mencari tempat ini, karena ketiadaan papan penunjuk arah.
Harus lebih diperhatikan lagi oleh Pemda Kota Bandung (maaf kalau salah). Tidak harus dengan menambah debit air, karena itu sepertinya susah. Sangat susah. Karena entah butuh berapa galon air buat mengairi sungai seperti itu. Tapi setidaknya dengan menjaga keasrian dan merawat fasilitas yang ada, atau membuat taman konseptual seperti yang sudah dibuat di tengah kota Bandung itu. Karena tempatnya cukup sejuk, yang bisa menjadi salah satu alternatif untuk 'melarikan diri' dari ruwetnya rutinitas harian.



Tabe!


*Ujang itu panggilan orang Sunda untuk anak muda. Saya tahu, cuma sengaja, biar tulisannya sedikit menarik saja :D

- Ane bikinin petanya deh ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar