Sabtu, 21 November 2015

Rie

"Nanti pulang bareng ya bu. Sekalian buka puasa"

Entah setan apa yang sedang memenuhi isi kepalaku, sampai keluar kata-kata itu. Padahal kita sedang kerja. Padahal kamu sedang sibuk mengatur tumpukan berkas-berkas yang harus diserahkan ke aku. Padahal kita hanya rekanan kerja, beda perusahaan. Padahal aku non muslim, tidak berpuasa.

Kamu berhenti sejenak, lalu memandang ke arahku.
Hhmm. Mata itu. Mata yang selalu membuat hatiku berdebar-debar tak karuan. Yang selalu membuat emosiku hilang tak berbekas, walau setumpuk berkas yang kamu kasih harus direvisi 70%-nya. Kamu salah melulu, tapi aku tetap selalu luluh. Karena mata itu.

"Boleh. Tapi aku pulangnya setengah enam. Gak apa-apa nunggu?", begitu katamu.

Aku mengangguk mengiyakan.

Kamu kembali membereskan berkas, sambil menyunggingkan segaris senyuman. Harapku kamu pun senang dengan ajakan ini.
Lalu aku bergeser ke kursi terdekat denganmu, berniat untuk membantu.

*    *    *

Di ruangan yang sama, hampir setahun yang lalu, kita bertemu. Saat itu kamu baru masuk menggantikan PIC yang sebelumnya. Perempuan kurang piknik yang juteknya ampun-ampunan.
Pagi-pagi sekali, saat itu, kamu menelpon ke kantor minta bicara dengan aku. Mengenalkan diri dan minta bertemu.

Kurang lebih satu jam, aku menjelaskan semua hal tentang pekerjaan ini. Berkas yang dibutuhkan, surat-surat yang harus dibuat, dan tetek bengek yang lain sampai sedetail-detailnya. Kamu begitu serius mendengarkan. Takut salah katamu.
Awalnya malas menjelaskan seperti ini, karena bukanlah domain-ku. Aku bukan senior kamu, apalagi atasan. Perusahaan tempat kita masing-masing bekerja hanyalah rekanan.
Tapi raut wajah kebingungan saat kamu bertanya, membuat aku berubah kasihan. Kemana senior-senior kamu ya?
Ah sudahlah. Membantu gadis cantik yang sedang kebingungan mungkin pahalanya akan besar.

Sehabis itu, kamu lalu permisi keluar sebentar.
Tak lama kamu kembali dengan dua gelas kopi-dari kedai ternama asal negeri Paman Sam-di tangan. Kamu tahu betul apa yang aku suka. Seolah ada tulisan besar di jidatku : "PECINTA KOPI AKUT. TANPA KOPI AKU GALAU".
Obrolan kita jadi lebih luwes, tak sekaku tadi. Kamu pun terlihat lebih tenang. Ketenangan yang membuat aku akhirnya menyadari betapa indahnya matamu, dan senyummu yang kelewat manis. Ketenangan yang membuat aku ingin selalu ke kantor kamu, demi melihatnya setiap hari.

*    *    *

Dan kini, malam ini, kamu kembali duduk dihadapanku. Bukan di ruangan yang biasa, tapi di sebuah restoran, sedang membolak-balik lembar demi lembar buku menu dengan tenangnya. Sesekali kamu merapikan rambut sebahumu. Melempar senyum ke pelayan yang datang membawakan takjil gratis.
Kamu memang lebih cantik saat jauh dari tumpukan berkas-berkas itu. Tidak panik dan kebingungan.

Awalnya kamu agak kaget, saat kita sampai di restoran ini. Kamu bingung kok aku bisa tahu kalau kamu lagi mau makan di sini.
Bukan. Bukan karena aku jago membaca pikiran layaknya Deddy Corbuzier, atau punya kemampuan supranatural seperti Ki Joko Bodo. Tapi karena Jack Dorsey cs, yang sudah menciptakan media sosial bernama Twitter, yang memberi kesempatan siapapun untuk stalking akun orang lain tanpa harus mem-follow-nya.
Terimakasih juga buat kamu yang sudah menuliskan nama lengkap di akun Twitter-mu, sehingga mudah untuk aku search dan membaca setiap kicauanmu.
'Surprise' di kesempatan pertama kita makan berdua, yang sepertinya membuat kamu terkesan.

"Thank you. Hope it's not the first and the last ({}) #RamadanMubarak"

Begitu cuitan kamu di Twitter sehabis kita pulang.




-Jakarta, Juli 2015-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar