Kamis, 09 Juni 2016

Sehari di Dataran Tinggi Dieng

Udara yang sejuk langsung terasa, saat saya membuka jendela kamar. Menenangkan sekali. Panasnya kuping semalam akibat cecaran dari atasan dan teman sekamar yang ngorok, hilang tak berbekas.
Pohon-pohon cemara nan hijau, menjulang tinggi. Dibaliknya, entah Sindoro atau Sumbing, tampak perkasa. Pagi yang mewah bagi penghuni Jakarta yang tampan asimetris ini.

Perjalanan kali ini dalam rangka meeting tahunan perusahaan. Perjalanan yang awalnya saya tolak untuk ikut, lalu berbalik mengiyakan sehari kemudian, setelah mendengar kata DIENG. Saya memang lelaki lemah saudara-saudara.
Tapi, orang bodoh mana yang akan menolak tawaran pergi ke tempat yang masuk list rencana perjalanannya secara gratis? Tentu bukan saya ;)

> <

Tepat pukul 08.00 pagi, kami mulai beranjak dari hotel. Melewati jalanan Wonosobo yang asri. Sisa-sisa kabut masih menyelimuti. Geliat aktifitas warga sudah tampak. Beberapa terlihat di antara bedeng-bedeng, membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekeliling tanaman sayur mereka.

Wonosobo. Kota kecil di dataran tinggi ini terasa begitu nyaman sekali di pagi hari. Lalu lalang kendaraan masih dalam taraf asyik bin aduhai.

Jalanan yang lengang membuat perjalanan kami hingga Dieng hanya memakan waktu satu setengah jam. Tak pakai lama, kami langsung menuju 'perhentian' pertama, Dieng Plateau Theater. Sebuah bioskop mini yang menayangkan film berjudul "Bumi Kahyangan Dieng Plateau". Film yang bercerita tentang segala tetek bengek dari Dataran Tinggi Dieng ini.
Ada yang hanya nonton sebentar, lalu keluar. Mungkin bosan.
Saya?..........
Berusaha tegar sampai filmnya habis, sambil memaki-maki provider sialan yang sinyalnya sudah kembang kempis tak karuan. Baru ketinggian 2.000 mdpl saja sudah begini. Padahal di iklan katanya memiliki jangkauan terluas. Ah sudahlah.

Dari bioskop yang tidak menyediakan lapak popcorn sama sekali itu, kami-setelah agak kebingungan-memutuskan untuk langsung menuju ke area Telaga Warna.
Mister Slamet pun direkrut untuk menemani. Namun sama seperti pembelian Victor Valdes oleh Manchester United, rekrutan kami ini pun menjadi mubazir, karena tidak ada satupun penjelasan si Mister yang didengarkan. Saya baru sadar, ternyata rombongan ini dipenuhi para selfieholic. Di setiap sudut, dengan gaya yang sama, mereka mengabadikan diri masing-masing. Dan Mister Slamet pun tak lama naik pangkat dari tour guide menjadi professional photographer.
Saya?..........
Tentu melakukan hal yang sama seperti mereka dong. hehehe :p

Dari penjelasan Mister Slamet yang begitu samar terdengar, di area ini ada dua danau atau semacam danau atau apalah itu pokoknya, yaitu Telaga Warna itu sendiri dan Telaga Pengilon. Hanya itu saja.
'Godaan' para selfieholic membuat saya tidak bisa menikmati semburat warna merah, hijau, biru, putih, dan lembayung yang katanya sering 'menghiasi' Telaga Warna ini. Juga membuktikan beningnya Telaga Pengilon yang katanya bisa dijadikan tempat bercermin layaknya Mas Narsisus. Hal yang membuat saya tidak bisa memastikan apakah saya seorang yang buruk hati dan buruk rupa, atau justru menawan bak Bradley Cooper seperti yang selalu dipantulkan cermin kamar saya setiap pagi.

Kedua telaga itu dibatasi oleh rawa-rawa dan hutan kecil yang ditumbuhi pohon-pohon pinus. Mungkin pohon pinus. Mungkin juga saya sotoy kalau itu pohon pinus.
Di dalam hutan ini terdapat beberapa goa yang katanya biasa digunakan orang untuk melakukan ritual-ritual tertentu, demi terkabulnya sebuah permohonan. Dan konon, Presiden Soeharto pun pernah kesini, melakukan ritual di Goa Semar (itu kata Mister Slamet).

Hanya sebentar saja kami di hutan ini. Hanya sekedar lewat. Syukurlah. Terlalu banyak manusia-manusia alay yang berkumpul di sini. Saya takut tersaingi.


Dari area Telaga Warna, kami diajak Mister Slamet kembali ke atas, tempat Dieng Plateau Theater tadi berada. Tapi tidak untuk kembali menonton filmnya. Kami dibawa agak sedikit ke atas lagi.
Trekking sebentar ke atas bukit, melewati kebun cabai tomat (katanya) milik warga. Cabai tomat ini cabe yang bentuknya seperti tomat, walau tidak sebesar tomat. Rasanya tidak terlalu pedas dan agak manis. Ada juga pohon Carica a.k.a. The 'Kuntet' Papaya. Buahnya seperti pepaya, tapi ukurannya kecil. Buahnya dijadikan manisan, yang dijual untuk oleh-oleh khas Dieng. Rasanya segar.
Selain itu ada Purwaceng, yang katanya bisa membuat stamina pria menjadi lebih joss, tanpa harus menenggak minuman yang ROSO itu.

Ternyata bukit ini adalah lokasi Batu Pandang berada. Tempat selfie sejuta umat katanya. Ke Dieng tanpa selfie di sini itu layaknya tukang bubur gagal naik haji. Ra apdhol.
Dari atas sini, Telaga Warna dan Telaga Pengilon benar-benar terpampang nyata cetar membahana. Syahrini mungkin akan langsung maju mundur cantik.
Tidak perlu kamera canggih, skill mumpuni dan tampang rupawan untuk hasil foto ala cover majalah margasatwa ;)


Bradley Cooper
(photo by Mister Slamet)
Ada wahana Rubah Terbang (Flying Fox :p) di area Batu Pandang ini, bagi mereka yang ingin cepat turun ke bawah. Terjun bebas pun boleh-boleh saja bagi yang ingin cepat mati.

Sekedar info saja, walau tidak penting, Flying Fox adalah spesies kelelawar buah terbesar yang tergolong dalam marga Pteropus. Kalong kalau sebutan Indonesianya (*mbak Wiki).
Apakah ada hubungan antara si kelelawar, gantungan tali panjang buat meluncur itu dan Megan Fox? Entahlah. Yang jelas saya pasti lebih memilih pemeran April O'Neill di film Teenage Mutant Ninja Turtles itu.
Tapi, kelelawar yang dimasak dengan santan kental pasti akan menjadi sebuah pengecualian.

> <

Masih bersama Mister Slamet, kami lalu beranjak menuju Kawah Sikidang. Salah satu dari delapan kawah di Dataran Tinggi Dieng. Ada Kawah Candradimuka, Sibanteng, Siglagah, Sileri, juga tiga kawah lain yang berpotensi gas beracun dan dilarang untuk dikunjungi yaitu Sikendang, Sinila dan Timbang.
Tahun 1979, Kawah Sinila dan Timbang pernah 'berkolaborasi' untuk menimbulkan sebuah tragedi. Sinila meletus >> Terjadi gempa >> Timbang mengeluarkan gas CO2 beracun. Tercatat ada 149 warga desa dan hewan peliharaannya yang tewas saat itu.

Kawah Sikidang pun 'memonopoli' kunjungan wisatawan. Mengabaikan bau belerang demi melihat keluarnya gas dari lubang yang katanya selalu berpindah-pindah. Berpindah seperti kijang (KIDANG, kalau dalam bahasa Jawa). Alasan nama Sikidang itu diberikan ke kawah ini.

Sekedar info lagi (yang ini penting), kawasan Sikidang telah mulai dimanfaatkan sebagai sumber energi hidrotermal. Terlihat pipa-pipa berdiameter besar di sekitar kawasan. Pemanfaatan sumber energi ini diperuntukkan bagi pembangkit listrik tenaga geothermal.


Mungkin karena memang sama-sama merupakan kawah vulkanik, Kawah Sikidang ini terlihat seperti kawah-kawah di Gunung Tangkuban Perahu. Atau mungkin saja setelah gagal memperistri Dayang Sumbi, lalu Sangkuriang pergi ke Dieng untuk mencari wanita paruh baya yang lain. Di Bandung perahu yang ditendang, di Dieng kijang di tekel. Kasihan Sangkuriang :D

> <

Matahari yang mulai beranjak ke ufuk barat, membuat kami harus segera berlanjut ke lokasi kompleks Candi Arjuna. Sebuah kompleks candi-candi Hindu yang dibangun pada abad ke-7. Di dalam kompleks ini terdapat lima bangunan candi yaitu Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembadra.
Tampak belum sempurna, karena memang masih dalam proses pemugaran. Namun sudah terbayang bagaimana asrinya kompleks candi ini nantinya. Deretan pohon-pohon cemara yang mengelilingi, dengan latar bukit dibelakangnya, seolah menjanjikan panorama yang indah kelak.

Selain kompleks Candi Arjuna, masih ada kompleks candi lainnya di Dataran Tinggi Dieng ini, seperti area Candi Gatotkaca, area Candi Bima, dan area Candi Dwarawati. Dan kata Mister Slamet, masih banyak lagi yang lainnya yang sedang dalam tahap penggalian.
Ingin sekali membantu penggalian itu, tapi karena Mister Slamet tidak memintanya jadi saya ikut pulang saja bersama teman-teman.


Sekitar 5 KM setelah keluar dari gerbang Dieng, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Tik tik tik bunyinya. Dahan dan ranting, juga pohon dan kebun basah semua.
Ah, terimakasih semesta. Berkah bagi bumi para dewa.

Enthog goreng featuring sambal ijo pun menutup perjalanan kami.

Namun semburat sunrise bukit Sikunir dan Gunung Prau sepertinya menghendaki saya untuk kembali lagi kesini secepatnya.



Tabe!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar