Senin, 13 Agustus 2018

Ruang Seduh [Kemang]

Menemukan kedai kopi secara tidak sengaja adalah berkah tak terkira, terutama ketika seharian belum mendapatkan asupan kafein sama sekali.
Begitulah halnya dengan Ruang Seduh ini.

Sore itu, saat sedang melihat-lihat buku di toko buku Aksara, dan 'terpaksa' harus 'ke belakang' sebentar, saya--yang pecinta seni, sekaligus seniman abal-abal ini--tertarik dengan satu ruang kecil di bagian paling belakang, yang penuh dengan pajangan lukisan-lukisan.
Dan setelah menuntaskan segala 'hasrat' yang muncul tadi, saya langsung melangkah ke sana. Namun belum sempat masuk, saya tiba-tiba tergoda dengan sebuah ruangan serba putih didepannya. Harum kopi begitu menyeruak ditengah lalu lalang segelintir orang didalamnya. Tampak beberapa alat seduh dan sebuah grinder--dengan topeng storm trooper dari serial starwars, yang entah apa mereknya--di atas meja bar.

Dengan pasti--karena yakin itu kedai kopi--saya pun melangkah kesana. Hasrat ngopi tiba-tiba muncul dengan sendirinya. 'Godaan' kopi itu memang susah sekali untuk diabaikan begitu saja.


Di sebuah kaca, tertulis nama RUANG SEDUH dengan logonya berupa tetesan air [iya kan ya? 😁]. Di meja bar-nya, persis depan kasir, terpajang tiga single origin pilihan. Ada Ethiopia Konga (yang dilabeli sebagai Forbidden Fruit), Gamboeng Pasundan (Irama Keroncong), dan Ethiopia-Guji Liya (Flower Power). Masing-masing dengan penjelasannya tentang karakteristik rasa, tingkat ketinggian, hingga roaster-nya.
Yah, namanya juga third wave coffee shop. he-he-he


Saya lalu memesan Cappuccino.
Entah mereka pakai single origin yang mana. Saya lupa menanyakannya.
Pas lah sore-sore menikmati racikan kopi ala Italia itu. Walaupun sebenarnya di sana orang minum cappuccino itu biasanya pagi-pagi, sebagai sarapan.*
Tapi itu kan di Italia, bukan Jakarta. Di sana pagi, di sini sore [iya kan? 😝]

Suasana di Ruang Seduh saat itu sangat tenang, sehingga ritual ngopi saya begitu syahdu terasa. Bahagianya paripurna.
Belakangan saya baru tahu kalau ketenangan itu dikarenakan tepat di ruangan sebelah kedai ini ada Kinosaurus. Sebuah microcinema (bioskop kecil), yang biasa memutar film-film independen atau kadang juga film-film box office. Banyak pegiat dan pecinta film yang sering wara-wiri di Kinosaurus ini.


Sembari menghabiskan cappuccino milik saya yang nikmat nian, saya mengamati sekeliling kedainya dengan seksama demi kepentingan blog abal-abal ini. he-he
Karena mengusung slogan "Brewers Without Borders", set coffee bar-nya pun sengaja diposisikan di tengah kedai, sehingga para pengunjung bisa leluasa berinteraksi dengan barista-baristanya, bahkan diijinkan untuk membuat kopinya sendiri (dengan instruksi dari si barista tentunya).

Terdapat dua meja bar yang ada. Yang depan untuk manual brewing. Sementara yang belakang khusus espresso based, dengan La Marzocco (entah tipe apa) dan mesin yang satu lagi (saya lupa mereknya 😁), nongkrong manis diatasnya.

Sehubungan dengan pengunjung yang bisa menyeduh kopinya sendiri, di salah satu dinding Ruang Seduh ini tertempel semacam resep untuk beberapa jenis menu kopi, seperti espresso dan manual brewing untuk masing-masing single origin yang ada. Dengan segala takaran/ratio antara air dan kopinya masing-masing.
Mungkin sebagian orang yang melihatnya (terutama penikmat kopi tradisional), pasti merasa aneh dengan segala tetek bengek ini. "Mau ngopi kok ribet amat" 😁
Tapi memang kalau ingin ngopi enak maksimal, ya mesti dilakukan dengan cara yang benar juga. he-he


Sebelum pulang, saya memutuskan untuk menyudahi 'petualangan' saya di Ruang Seduh ini dengan satu racikan manual brewing. Jadilah saya memesan single origin Ethiopia Konga yang diseduh dengan V60.
Tapi karena kata si barista kalau single origin ini sudah dikalibrasi sehingga tidak bisa memakai alat seduh yang lain, maka jadilah saya untuk pertama kalinya mencoba alat seduh manual selain V60 yaitu Walkure. Alat seduh dari Jerman, yang terbuat dari porselin asli sehingga bisa menjaga kopi agar tidak cepat dingin.**

Menurut yang saya baca dari berbagai sumber, proses kalibrasi ini sangatlah penting untuk menjaga kualitas rasa dari si biji kopi. Kalau kata teman saya, proses kalibrasi ini dilakukan agar bisa menyamakan 'persepsi rasa' antara lidah yang satu dan lidah yang lain. Jadi ketika notes dari single origin yang diminum itu citrus, maka si A akan merasakan citrus ketika meminumnya, begitu pula si B akan merasakan citrus juga di setiap sesapannya, bukan malah merasakan sakit hati yang teramat dalam. ha-ha-ha 😝

WALKURE
(pic source: prima-coffee.com)
Segelas Ethiopia Konga--yang sayangnya benar-benar satu gelas saja. he-he--akhirnya menjadi sebuah kesudahan yang sungguh nikmat.
Walau saya tidak merasakan fresh apple seperti yang mereka tulis, tapi tak apalah, karena saya yakin 100% itu bukan karena kesalahan baristanya atau kualitas biji kopinya atau roasting profil-nya, tapi MURNI karena lidah saya yang amatiran 😁


Ruang Seduh ini jadi satu ketidaksengajaan yang patut untuk disyukuri.



Tabe!


PS:
* dari berbagai sumber
** majalah otten coffee

➤ Alamat Ruang Seduh: Jl. Kemang Raya 8B (seberang Arion Swiss Bell Hotel - belakang toko buku Aksara [lewat samping kasir] - satu kompleks dengan 365 Eco Bar) Cabang Jogja: Jl. Tirtodipuran 46
➤ Buka setiap hari: 08.00 - 21.00
➤ IG: @ruangseduh

#SekapurSirih

Di tengah riuh kedai kopi. Di tengah obrolan hangat saat ngopi bersama sahabat. Di tengah cangkir unik dan latte art cantik nan fotogenik.
Ingatkah mereka akan peluh petani kopi di kebun nun jauh di sana ?


*Foto diabadikan saat event Festival Kopi Flores, tahun 2016

Minggu, 10 Juni 2018

Kopimana27

Sepulangnya dari Gang Potlot, tempat 'markas besar' Slank berada, tiba-tiba saya teringat dengan sebuah kedai kopi yang artikelnya saya baca beberapa hari yang lalu.
Dengan segera saya buka kembali kembali history pencarian di Google, untuk tahu alamatnya, dan lalu menyambangi kedai kopi itu. 'Mengobati' kegagalan bertemu personil Slank--karena rumahnya tertutup--memang HARUS dengan kopi yang nikmat.

Beruntung lokasinya belum terlewat. Saya pun buru-buru meminta berhenti ke sopir bis yang saya naiki, setelah melihatnya di seberang jalan. Berada di antara deretan ruko-ruko. Nama kedainya terlihat jelas dari jalan, karena berukuran cukup besar.
Tempatnya ada tepat di depan (seberang) kantor/showroom Honda Tebet, tidak jauh dari Jembatan Pancoran.


Tampak beberapa orang remaja masa kini sedang duduk di depan dinding kaca besar. Ngopi, ngerokok, ngobrol ngalor ngidul. Sementara di dalam terlihat begitu sepi. Hanya ada dua orang barista, dan dua ibu-ibu yang sedang asyik menikmati kopi mereka.

Kedainya tidak begitu luas, dengan bentuk memanjang ke belakang. Dindingnya didominasi warna putih, dengan sedikit cat hitam di beberapa sisi.
Terlihat cukup modern.


Ada yang menarik di area paling belakang. Di dindingnya yang berwarna putih, terdapat tulisan yang cukup besar; "SELAYAKNYA ISTRI, KOPI ADALAH TITIPAN".


hhmm. Perbandingan yang aneh, walau benar adanya. Segala yang ada di dunia ini, kan memang hanya titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. he-he

Saya lalu memilih duduk di meja panjang, tepat di bawah tulisan itu. Menikmati pesanan kopi saya yang tidak lama sudah datang, sambil membaca buku yang saya ambil dari rak di samping coffee bar. Kopi dan buku memang 'pasangan' yang berjodoh.
Saya memesan Kopi Vietnam [lagi] kali ini. Saya sepertinya jatuh hati dengan minuman kopi susu ala negeri komunis ini 😀

Di Kopimana27, kopi vietnamnya agak ringan. Tidak seperti di Kopi Oey yang cenderung pekat campuran kopi hitam dan susu kentalnya. Walau seperti artikel yang pernah saya baca, citarasanya memang selayaknya seperti itu.
Tapi walaupun begitu, keduanya tetap punya sensasi nikmatnya masing-masing.


Suasana kedai kopi ini tidak terlalu ramai saat itu. Sampai kopi vietnam saya tandas, juga buku yang sudah hampir setengahnya saya baca, hanya bertambah dua orang bapak-bapak yang datang dan seorang ibu beserta dua anaknya yang membeli kopi untuk dibawa pulang.

Sementara remaja-remaja masa kini tadi, sudah pindah ke dalam kedai. Masih tetap ngopingerokokngobrol ngalor ngidul.


Saya lalu memutuskan untuk memesan kopi lagi.
Tulisan "Ethiopia" di daftar "Kopi Golongan Asal" yang tertera di sebuah papan hitam, mengurungkan niat saya untuk pulang. Memang ada kopi nusantara yang tertulis di situ, seperti Toraja Yale, Malabar dan Gayo. Namun ketiganya sudah pernah saya coba di kedai kopi lain.

Saya memilih untuk diseduh dengan metode pour over menggunakan V60.
Ethiopia V60.
Pilihan yang benar adanya. Saya menikmatinya dengan senyum penuh kepuasan.


Dan karena mereka 'memproklamirkan' dirinya sebagai "warung kopi dan penitipan istri", saya sepertinya akan datang untuk ngopi lagi, sekaligus membawa istri untuk dititipkan.
Istri teman tapi. ha-ha-ha-ha



Tabe!


PS:
Alamat Kopimana27:
Jl. Prof. DR. Supomo, No. 45 RZ, Tebet Barat, Jakarta (depan Honda Tebet, tidak jauh dari Jembatan Pancoran)

➤ Buka setiap hari: 08.00 - 23.00

➤ IG/FB/Twitter: @kopimana27

Senin, 14 Mei 2018

Reggae Collaboration [Rekomendasi Reggae Jilid IV]

pic: google
Sama seperti jilid sebelumnya, rekomendasi kali ini pun hanya saya khususkan untuk lagu-lagu hasil kolaborasi antara beberapa penyanyi, entah itu sesama artis reggae atau kolaborasi lintas genre.

Lagu-lagu ini tentu saja yang ada di playlist saya, dan sering saya dengarkan. Dan, tentu saja juga, tidak hanya ini saja kolaborasi reggae yang ada.
Segelintir lagu di rekomendasi ini hanyalah sebuah persembahan dari saya--dengan tulus ikhlas penuh cinta--untuk mereka-mereka di luar sana, kaum-kaum kurang piknik yang haus akan hiburan 😝

Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah untuk menyegarkan pikiran kawan-kawan itu tadi, sehingga dengan begitu berimbas kepada kesyahduan timeline akun Facebook saya. Tidak lagi dipenuhi segala macam gundah gulana, sedu sedan, juga sumpah serapah.

Baiklah. Mari kita dengarkan saja bersama-sama. Jangan lupa goyang. Jempol kaki saja pun tidak apa-apa. he-he-he

1. Alborosie ft. Gramps Morgan - One Sound

Kolaborasi reggae deejay dari Italia--yang sekarang menetap di Jamaika--dengan 'bapak-bapak Jamaican' bersuara renyah favorit saya ini menjadi pembuka yang pas kan? 😉


"We say one love from the east of Jamaica. We say one heart straight into Africa. We say one sound right through Europe. One destiny for all humanity"


2. Ali Campbell ft. Shaggy - She's A Lady

Mantan vokalis UB40 ini sekarang sudah bersolo karir. Walaupun memang 'rasa UB40-nya' masih sangat kental di lagu-lagu miliknya (menurut saya).
Tapi bagi saya itu bukanlah sesuatu yang jelek selama lagu-lagu itu masih enak didengar, seperti kolaborasinya dengan Shaggy ini.


"She never ask for very much and i don't refuse her. Always treat her with respect and i will not abuse her. What she's got is hard to find and i don't wanna lose her. Help me build a mountain from my little pile of clay"


3. Faby ft. Gramps Morgan - I'm Lost Without Him

Karena 'bapak-bapak Jamaican' ini salah satu favorit saya, jadi masuk lagi di list ini. Kali ini yang mengajaknya berkolaborasi seorang penyanyi dari New Caledonia.





4. Irie Love ft. Peetah Morgan - Let It Fly

Irie Love ini seorang penyanyi R&B Reggae dari Hawaii, sementara Peetah Morgan adalah vokalis dari 'band keluarga' Morgan Heritage.





5. Irie Souljah ft. Kabaka Pyramid - Inna Di Mood

Kolaborasi yang keren dari artis reggae berdarah Spanyol, dengan salah satu jendral reggae revival Jamaika.




PS: yang tidak tahu apa itu Reggae Revival, silahkan browsing, atau tunggu artikel kaka Chivo berikutnya 😉


6. Jah Sun ft. Gappy Ranks - Never Stray

Kolaborasi yang asyik.
Sudah itu saja.
he-he-he





7. Keznamdi ft. Chronixx - Victory

Reggae kok tidak ada encet-encetnya?
Mungkin begitu pertanyaan kalian. Ah sudahlah. Dengarin saja dengan penuh khidmat dan hayati segala pesan yang mau mereka sampaikan di lagu ini. he-he




"Victory. When you winning its a sweet story. When you're not then the war is bitter. You quick to call me a sinner. Only Jah Jah know my history. Suh we affi give the King glory. Like a tree planted by the river. I a smile with the sun. Can't keep we down cah we have to overcome"


8. Marla Brown ft. Runkus - One Shot

Marla ini putri dari Dennis Brown (yang dijuluki "The Crown Prince of Reggae" oleh Bob Marley sendiri).
Memang, "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" 😀
Lagu "Zion" yang featuring dengan Ras Muhamad pun enak untuk didengar.





9. Millie Small & Roy Panton - We'll Meet

Dengan irama ska klasik yang khas, kolaborasi pelantun lagu populer; "My Boy Lollipop" dengan sesama artis reggae lawas ini begitu asyik terasa.




"I know your love for me is stronger. That's why we'll meet yes we'll meet"


10. Peter Tosh & Mick Jagger - Don't Look Back

Kolaborasi antara duo legend di 'dunianya' masing-masing.
Klasik asyik!!





11. Ras Muhamad ft. Conrad - Satu Rasa

Kolaborasi dua reggaeman Indonesia favorit saya. Lirik lagu ini menggabungkan enam bahasa, yaitu Inggris, Jamaican Patois, Indonesia, Flores (Maumere-Larantuka), Maluku & Jawa.




"Ale rasa beta rasa, mari katong manyanyi. Dengar tifa su babunyi, jangan tinggal basambunyi. Keluar rame-rame tong badonci"


12. Runtown ft. Wizkid & Walshy Fire - Bend Down Pause

Saya kasih satu tembang dancehall ah. Lumayan buat goyang-goyangin jempol.
Jempol kaki 😝





13. Sara Lugo ft. Protoje - Really Like You

Produksi Oneness Record. Kolaborasi penyanyi Jerman bersuara renyah maksimal [😝], dengan salah satu jendral Reggae Revival Jamaika.
Kalau saya sih WAJIB masukkin ke playlist.
Kamu???





14. Shaggy ft. Ne-Yo - You Girl

Reggae meet RnB, MEMANG seenak ini 😁





15. The Skints ft. Tippa Irie & Horseman - This Town

Selalu suka tiap kali dengar lagu-lagunya The Skints. Terutama musiknya yang 'aneh bin ajaib'. Sebagai pendengar setia reggae, sungguh menyenangkan sekali mendengar yang fresh-fresh seperti itu.





16. Tony Q Rastafara ft. Candil - Lidah Kampung

Salah satu lagu dalam album "Menjemput Mimpi", dimana Tony Q berkolaborasi dengan beberapa rocker Indonesia. Selain "Nurani Bicara" (Tony Q ft. Vicky Burgerkill), lagu "Lidah Kampung" ini juga favorit saya di album itu. Selalu lapar tiap kali mendengarnya. eh. ha-ha-ha




"Ikan asin, sayur asam, tahu tempe, sambal terasi, nasi putih selalu setia menemani, penuhi rasa laparku. Walau makan sederhana tetap nikmat terasa. Lidah bergoyang-goyang, keringat jatuh bercucuran.
Sudah aku coba bermacam-macam makanan dari timur ke barat, kau masih saja membuatku tidak merasa bosan.
Lidah ku masih lidah kampung"


17. Gentleman ft. Aloe Blacc - Imperfection

Kolaborasi Jerman - AS yang pas untuk menutup rekomendasi ini.




"Cause we're only human-with imperfection. Cause there is a time and place for everything"
⏪⏩

Oke itu saja rekomendasi reggae-nya. Kalau pikiran mu belum segar juga karena hanya sedikit lagu-lagu reggae itu, cobalah cari sendiri di yutup. Atau tunggu rekomendasi reggae kaka Chivo jilid berikutnya. Kira-kira satu abad kemudian.
Terimakasih atas perhatiannya 😁



Tabe!


*baca juga :

Sabtu, 12 Mei 2018

#SekapurSirih

Memori masa lalu. Ada yang membuat senyum tersipu. Ada yang berakhir tumpahnya air mata. Ada yang membangkitkan amarah.


lokasi : Galeri Nasional Indonesia (Pameran Koleksi Istana Presiden RI)

*Artikel selengkapnya bisa dibaca di sini ← klikzz

Kamis, 26 April 2018

Kopikina

Harum kopi dari mesin roasting yang sedang 'bekerja' di sudut ruangan, 'menemani' saya yang sedang menunggu pesanan kopi datang.
Stoples-stoples berisi beragam single origin nusantara, berjejer rapi di sebuah rak, di sisi coffee bar, tepat di samping mesin sangrai itu berada.

*pic: IG Kopikina
Kopikina, si rumah sangrai kopi nusantara yang saya datangi kali ini sudah lama ada dalam list saya. Banyak artikel yang sudah membahas tentang kedai kopi yang satu ini, baik di internet maupun koran. Karena mereka punya 'kisah' andalan yang patut untuk diceritakan. Kedai sekaligus rumah sangrai kopi ini sudah melakukan kurasi kopi dari 100 lebih daerah di Indonesia. Sungguh sebuah 'petualangan' rasa yang luar biasa jika kesini setiap hari. he-he


Tempatnya yang hanya sekitar 80 meter persegi, terlihat bersahaja dengan segala hiasan furniture tua. Beberapa foto hitam putih ditempel di dinding bata merah yang dibiarkan terekspos begitu saja. Sederet kamera analog pun ikut dipajang. Sebuah perangkat musik menempati salah satu sudut.
Komposisi yang apik.

*pic: IG Kopikina
Lokasinya yang berada di jalan utama Tebet, membuat Kopikina tidak sulit untuk ditemukan. Asalkan tidak naik ke jembatan layang, anda akan langsung melihat bangunan kedainya dengan logo Kopikina yang terpasang di atas pintu masuknya. Tempatnya hanya sekitar lima meter dari titik awal pembagian jalan biasa dengan jalan layang tersebut.

*pic: IG Kopikina
Saat kesini, saya memesan Yellow Catura dari Manggarai, Flores. Pilihan yang pas. Rasa nanas mendominasi di setiap tegukan. Sungguh menyegarkan. Tidak ada malam yang lebih indah lagi, dari malam yang 'dihabiskan' dengan kopi nikmat seperti ini. he-he


Sebagai sebuah rumah sangrai, Kopikina tentu saja menyediakan 'buah tangan' berupa kantung-kantung berisi biji kopi pilihan. Tinggal 'melipir' sejenak ke website mereka, maka segala pengalaman rasa yang beraneka akan bisa kita dapatkan 😁



Tabe!


PS:
>> Alamat Kopikina: Jl. Abdullah Syafi'ie No. 1, Tebet, Jakarta
>> Jam buka: 10.00 - 02.00
>> Website: www.kopikina.id
>> IG: @kopikina

*Hape canggih saya memang suka menyedihkan begitu hasil fotonya (berlogo PDC) kalau low light. Maklumi saja ya 😉

Senin, 02 April 2018

Restaurant Yougwa

PAPEDA...
Nama salah satu makanan khas dari Papua dan Maluku itu, menjadi salah satu penyebab saya berbuat dosa. he-he
Tanya kenapa?
Alasannya karena setiap kali teman-teman kuliah saya bertanya, "Lu di Flores tiap hari makan sagu dan papeda ya?", saya selalu mengiyakan, sambil menambahkan kalau banyak pohon sagu yang tumbuh di belakang rumah.

Saya suka ketawa sendiri melihat 'kepolosan' teman-teman saya itu. Entahlah. Apa mungkin mereka lupa atau tidak pernah memperhatikan saat guru menjelaskan dulu. Seumur hidup saya bahkan tahu bagaimana wujud pohon sagu itu hanya dari gambar di buku pelajaran.
Memang banyak pohon di belakang rumah saya. Tapi cuma kemiri dan kakao saja 😁

Namun, setelah sekian lama berbohong soal makan sagu dan papeda, saya akhirnya punya kesempatan untuk mencicipi makanan asli Indonesia Timur itu. Tidak di Papua atau Maluku, tapi dekat saja, di sebuah restoran di Jakarta Utara.
Saya tahu tempat makan di Kelapa Gading ini dari sebuah surat kabar. Dan langsung tertarik untuk menyambanginya. Selain agar saya tidak perlu berbohong lagi soal rasa makanan ini karena sudah mencobanya, juga karena makanan Papua yang relatif lebih sulit dijumpai daripada makanan dari Jawa atau Padang. Jadi tidak harus menunggu ada kesempatan untuk mengunjungi bumi Cendrawasih itu, yang entah kapan waktunya.


Tidak susah mencari Restaurant Yougwa ini, karena memang berada di lokasi premium, diantara deretan ruko-ruko sepanjang Jl. Boulevard Raya. Tidak jauh dari mall La Piaza.
Papan namanya cukup besar dan mencolok dengan dominasi warna kuning, merah dan hijau. Di papan nama itu tertulis kalau Yougwa adalah cabang langsung dari Danau Sentani di Papua.

Suasananya sepi ketika saya masuk. Hanya saya satu-satunya pengunjung saat itu.
Hiasan khas Papua, juga foto-foto tentang Papua dan kesan-pesan dari warga Papua mengenai restoran ini, tergantung rapi di dinding.


Seorang pelayan perempuan lalu menyodorkan daftar menu kepada saya yang masih sibuk memilih tempat duduk. Maklum, sebagai fotografer makanan abal-abal, posisi sangat menentukan hasil akhir jepretan. he-he

Agak lama saya memilih makanan yang ingin saya pesan. Bukan masalah Papeda--karena memang cuma ada dua opsi; porsi besar dan porsi sedang--tapi soal makanan pendamping bagi Papeda itu (termasuk menimbang kemampuan kantong 😁 ).
Pilihan akhirnya jatuh kepada Ikan Bobara Kuah Asam. Tidak ada alasan berarti, hanya karena namanya yang asing saja bagi saya.


Ikan Bobara (Trevally Fish)
pic: www.daf.qld.gov.au
Berikut sedikit penjelasan tentang Ikan Bobara ini, yang saya kutip dari situs indonesiakaya.com:
Ikan Bobara (Trevally Fish) banyak sekali hidup di wilayah perairan Propinsi Papua dan Papua Barat. Ikan ini merupakan ikan jenis petarung. Habitatnya di laut yang berkarang dan hidup dalam kelompok.


Agak lama menunggu pesanan saya itu datang. Dan selama itu saya masih sendiri saja. Belum ada pengunjung lain yang datang menemani.
Sekalinya datang pesanan itu, saya dibuat kaget. Papeda Porsi Sedang yang saya pesan ternyata tidak sesedang yang saya bayangkan. Porsinya bisa untuk berdua. Begitupula kuah asam Bobara-nya.

Apa mungkin ini karena di Papua segalanya rata-rata berukuran jumbo semua? Ukuran pulau mereka contohnya 😉
Ah sudahlah!


Dengan perlahan saya menyendok kuah asam yang berwarna kuning pekat itu (tentu saja setelah difoto dulu, demi kepentingan blog abal-abal ini 😁 ), ditambah sedikit potongan ikan yang saya letakkan dipinggirnya.
Lalu, dengan perlahan pula saya beralih ke Papeda. Putih, dengan tekstur yang lengket seperti lem. Dengan dua kayu yang ujungnya dibuat seperti garpu salad--atau garputala pun mirip--saya lalu menyendok/menyerok/??? (maaf saya tidak tahu kata yang pas untuk proses ini 😁 ), dan dengan 'garpu' yang kanan saya memutar-mutarkan papeda itu agar terlilit dengan sempurna di 'garpu' kiri. Kemudian dengan sedikit cepat memindahkan 'lilitan' papeda itu ke piring yang berisi kuah asam Bobara tadi.
Setelah berpindah, saya pun mulai menikmati makanan khas Papua itu. 'Menyedotnya' dengan perlahan hingga tuntas, sembari menyesap kuah asam ditambah ikan Bobara-nya.

Setelah piring tandas, dengan tingkat kekakuan yang sama saya mengulang kembali proses tadi. Mudah-mudahan cara makan Papeda yang saya lakukan di atas tidak salah, karena seperti itulah yang saya tonton di video Youtube.
Iya, saya memang sudah mencari terlebih dahulu 'tutorial' untuk makan Papeda itu sebelum kesini. Takut salah guys. ha-ha-ha


Papeda-nya cenderung tak berasa. Tapi ketika sudah dicampur dengan kuah asam saat makan, menjadi sangat menagih.
Kuah asamnya mengingatkan saya sama buatan mama saya. Di Maumere (Flores), kami menyebutnya "lurun mage wair". Kuahnya enak, pedasnya nampol. Berpadu sempurna dengan daging Ikan Bobara yang legit dan gurih.

Walau terasa agak mahal (kalau cuma sendiri) bagi saya, tapi Restaurant Yougwa ini berhasil membuat saya pulang dengan perut yang kenyang, keringat bercucuran dan wajah berseri nan menggemaskan.


Selain papeda dan beraneka racikan seafood, ada juga beberapa makanan ringan yang ditawarkan di sini, seperti Twisties (PNG), Kripik Keladi (Sorong), Kripik Sukun (Sorong) dan Sagu Rangi (Papua), yang sungguh patut untuk dicicip juga.

Restaurant Yougwa ini benar-benar memberi rasa Papua di utara Jakarta



Tabe!



PS:
>> Alamat Restaurant Yougwa: Jl. Boulevard Raya, Blok WA 2, No. 31, Kelapa Gading, Jakarta (sebelum Warung Teko kalau dari arah prapatan Jl. Perintis Kemerdekaan).
>> Jam buka: 10.00 - 22.00 WIB.
>> Telp: (021) 453 0419

#SekapurSirih

Wanita dan Kopi. Kini sudah tak lagi asing. Di balik mesin espresso dan segala macam alat seduh, mencipta sejuta nikmat, atau berbaur diriuhnya kedai, menyesap kopi dengan perlahan sambil meninggalkan jejak gincu di bibir cangkir.


lokasi : Dreezel Coffee, Bandung

* Artikel selengkapnya bisa dibaca di sini ← klikzz 😉

Sabtu, 17 Februari 2018

Jakarta Malam dari Puncak Monas

Niat saya sejak pertama kali datang Jakarta di tahun 2005, naik ke puncak Tugu Monumen Nasional, akhirnya tercapai bulan Maret 2015 lalu. Senang rasanya, bisa merasakan sendiri bagaimana meneropong Jakarta dari Puncak Monas. Memandangi dari kejauhan, barisan gedung-gedung pencakar langit nan digdaya menghalangi pepohonan yang tumbuh sekadarnya di 59 hutan kota yang ada (katanya).


Lewat setahun lamanya, saya kembali menyempatkan diri untuk menyambangi lagi salah satu ikon kota Jakarta itu (yang sekaligus ikon nasional tentunya).
Berita di tivi tentang dibukanya kunjungan malam ke Monas [per 5 April 2016] sepertinya memiliki daya tarik tersendiri. Kelap-kelip cahaya dari gedung-gedung pencakar langit di seputaran Monas, menjanjikan pemandangan yang indah dari atas sana.

Sebenarnya, tanpa harus naik hingga ke atas pun, Monas di malam hari sudah cukup elok untuk dinikmati. Permainan lampu sorot warna-warni yang ditembakkan ke arah tugu sungguh memesona, 'menemani' kilau cahaya keemasan dari puncak nyala api tugu ini.


Pemandangan dari atas ketinggian 132 meter di malam hari ini, memang punya kekhasannya sendiri dibandingkan di siang hari. Walau gedung-gedungnya tidak terlihat jelas, namun titik-titik cahaya yang terlihat sungguh semarak. Kontras dengan langit yang semakin gelap tak berbintang [ironi kota-kota besar. terang di bawah gelap di atas. he-he].

Deretan kendaraan yang bergerak di sejumlah ruas jalan yang tampak dari atas puncak Monas, memberi efek cahaya tersendiri, membentuk garis panjang yang terus bergerak.
Lampu sorot yang menghiasi Masjid Istiglal, atau cahaya lampu di Istana Merdeka pun tak kalah menarik perhatian pengunjung.


Senja yang turun, memberi semarak pada Jakarta hingga malam menjelang.


Wisata malam Monas menjadi alternatif bagi warga ibukota--yang selalu disibukkan dengan kegiatan dan pekerjaan pada siang hari--untuk menikmati panorama kota Jakarta dari sisi yang berbeda.
Sisi yang tidak perlu dilabeli underground, seperti yang 'ITU', walau sama-sama berwisata malam. he-he.



Tabe!


PS:
> Jadwal buka kawasan Monas: Selasa-Minggu (libur tetap buka): 08.00-22.00
> Jam operasional lift ke Puncak Monas: pagi: 08.00-16.00; malam: 19.00-22.00

Jumat, 12 Januari 2018

de Kantine

Bisnis kopi yang sedang berkembang dengan pesatnya saat ini, membuat banyak bermunculan kedai-kedai kopi di setiap kota, terutama kota-kota besar, dengan tampilan wah, interior mentereng keostrali-ostralian [😀], berada di lokasi premium dan [tentu saja] berharga mahal.

Tapi tidak sedikit juga kedai kopi yang sederhana saja, hanya mengandalkan racikan kopinya, walau tetap nyaman sebagai tempat untuk nongkrong ria.
de Kantine ini salah satunya. Lokasinya cukup tersembunyi, dengan hanya memanfaatkan teras dan halaman sebuah rumah. Dengan papan nama yang tak begitu mencolok, ditambah deretan warung-warung tenda yang berjejer didepannya, orang tidak akan ngeh kalau ini adalah sebuah kedai kopi.


Unsur kayu sangat mendominasi desain interiornya. Rangka kayu penuh gantungan papan-papan kecil bergambar dan daun-daun artifisial akan langsung tampak saat kita masuk. Kain putih yang dijadikan sebagai penutup plafon, menjadi pemanis ruangan. Di salah satu sisi, dinding berwarna hitam dilapisi gambar mural yang cantik.
Ada cermin besar yang dipasang di salah satu dinding kedai. Sepertinya untuk memanipulasi ruangan yang kecil, agar tampak luas. Mungkin. Karena begitu yang saya sering baca di artikel-artikel arsitektur.

Namun, walau tak seberapa luas dan tidak ber-AC, kedai kopi ini tetap nyaman untuk ngopi sambil mengobrol santai, kerja, meeting atau membaca buku berlama-lama.


Ada beberapa single origin yang tersedia di sini, seperti Gayo, Papua, Toraja, Lintong, dan lain-lain. Tapi niat untuk mencobanya dengan seduh manual sedikit tertunda karena mas barista de Kantine sedang keluar.

Tidak ingin menunggu hingga bosan tanpa mencicip sesuatu, saya lalu memesan ke si mbak di coffee bar, menu lain yang dia bisa buat. Si mbak pun menawarkan Iced Vietnam kepada saya. Yang langsung saya iyakan tanpa pikir panjang lagi.
Namun tidak seperti Vietnamese Coffee biasa, kopi yang ini tidak diseduh menggunakan vietnam drip. Saya memang tidak memperhatikan prosesnya dari awal, hanya melihat si mbak itu menggunakan shaker atau apalah itu namanya, seperti yang biasa dipakai oleh para bartender untuk mencampur cocktail. Caranya pun sama seperti halnya para bartender itu.


Segelas kopi yang penuh busa diatasnya pun tidak lama hadir di meja. Mengingatkan saya akan Kopi Susu Spesial milik Kedai Kopi Phoenam, juga tentunya 'Mas Bintang'; bir idola yang logonya mendominasi desain kaos oblong di Bali itu 😁

Dibandingkan vietnam coffee yang pernah saya coba, Iced Vietnam de Kantine ini lebih ringan. Ada sensasi 'gigitan' alkohol yang samar-samar. Entah karena cara pembuatannya tadi atau halusinasi saya saja yang sudah jarang mencicipi minuman beralkohol. he-he

Alunan musik rock klasik dari The Beatles menemani saya menikmati kopi itu, sambil 'menghabiskan' tulisan berat Horace Campbell dalam bukunya Rasta dan Perlawanan. Asyik nian. Kopi dan buku memang pasangan berjodoh yang sempurna.


Tak lama setelah menghabiskan iced vietnam saya, mas barista yang ditunggu-tunggu sebagian dari pengunjung yang ada pun datang. Niat mencoba racikannya pun muncul kembali.
Setelah memilah-milah, pilihan jatuh kepada LINTONG. Satu-satunya, dari single origin yang tersedia di de Kantine, yang belum pernah saya coba sebelumnya.

Lintong Tubruk. Nikmat tak terbantahkan. Dan sempurnalah sore saya.
Walaupun niat sebelumnya ingin mencoba seduh manual lain. Apalah daya selera berbicara. he-he


Mencoba melipir kesini, setelah 'menemukannya' ketika hadir di event Festival Kopi Flores di Bentara Budaya lalu, membuat saya tersenyum puas ketika mengingat kembali ucapan teman saya saat itu. "Kedai kopi gini mah jualnya kopi gitu-gitu. Ga usahlah. Cari yang lain", begitu katanya.

Ah sudahlah.
Coba saja kesini, siapa tahu lidah saya tidak salah rasa. he-he
Pun kalau tidak suka kopi, ada es cokelat atau es teh leci. Makanan berat atau camilan santai pun tersedia. Ada nasi bakar, nasi gepuk, spaghetti, fettucini, kentang, sosis goreng, dan lain-lain.

Katanya, de Kantine yang tersembunyi ini sering dikunjungi karyawan Grup Kompas Gramedia. Siapa tahu ada yang cantik. eh 😁



Tabe!


PS:
> Alamat de Kantine : Jl. Gelora IX No. 1, Kel. Gelora, Palmerah Selatan, Jakarta
   (persis di samping kantor pusat Kompas Gramedia).
> Buka Senin - Jumat : 10.00 - 22.00.
> Arah menuju de Kantine : Pas belok masuk Jl. Gelora (arah mau ke pintu masuk kantor Kompas atau Bentara Budaya), lurus terus sampai gapura bertuliskan "lingkungan RW.02 Gelora". Ada gang di sebelah kiri. Dia rumah pertama sebelah kanan, berhadapan dengan warung-warung kecil.
> IG : deKantine_JKT

#SekapurSirih

Kedai kopi tua memang hanya punya menu sederhana. Jauh dari tetek bengek metode seduh, dengan segala macam gelombangnya. Tapi tidaklah kurang istimewanya. Karena ada nostalgia masa lalu di sana.


lokasi : Kedai Kopi Purnama, Bandung

*Artikel selengkapnya bisa dibaca di sini ← klikz 😏